Kedudukan Bahasa Indonesia Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia Adalah

Penyusunan naskah Proklamasi

Pada malam hari setelah Peristiwa Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno–Hatta yang diantar oleh Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat "bushido", ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Sukarno–Hatta lantas meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, mereka menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No. 1) diiringi oleh Shunkichiro Miyoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.[24] Setelah menyapa Sukarno dan Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Teks proklamasi ditulis di ruang makan laksamana Tadashi Maeda. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Soekarno, Hatta, dan Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M. Diah, Sayuti Melik, Soekarni, dan Soediro.[25][26] Miyoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif.[27] Tentang hal ini, Soekarno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power".[22][24] Hatta, Subardjo, B.M. Diah, Sukarni, Sudiro dan Sayuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima, tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.[28]

Menurut sejarawan Benedict Anderson, kata-kata dan deklarasi proklamasi tersebut harus menyeimbangkan kepentingan kepentingan internal Indonesia dan Jepang yang saling bertentangan pada saat itu.[22] Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung dari pukul dua hingga empat dini hari.[29] Setelah konsep selesai disepakati, Soekarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia,[6] dan Sayuti menyalin dan mengetik naskah tersebut,[30][31] menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[32] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[33] (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 1).

Perbedaan teks naskah Proklamasi Klad dan Otentik

Di dalam teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan yaitu sebagai berikut:

Penyebaran teks proklamasi

Wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas, ditambah dengan hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.[43]

Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.

Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Meskipun menggunakan banyak media dan alat penyebaran, sebelum tahun 2005, pihak Belanda sebagai penjajah Indonesia tak mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (de facto) melainkan tahun 1949 tanggal 27 Desember sebagaimana pengakuan PBB (de jure)[44] sebab mereka berpendapat bahwa pada tahun 1945, kekuasaan di Indonesia diserahkan kepada Sekutu, bukan dibebaskan oleh Jepang. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi:

Jakarta, 17 Agustus 2024 – Hari ini tepat tanggal 17 Agustus 2024 Indonesia merayakan Hari Kemerdekaannya yang ke-79. Dalam momen peringatan ini, upacara kemerdekaan Republik Indonesia menjadi sebuah tradisi yang diadakan setiap tahun untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang penuh dengan nilai sejarah dan semangat nasionalisme, serta menjadi momen penting bagi rakyat Indonesia untuk mengingat perjuangan para pahlawan dalam meraih kemerdekaan.

Untuk itu, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta menggelar Upacara Bendera dalam rangka Memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 yang berlangsung di Halaman Gedung Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Sabtu (17/8) yang diikuti oleh seluruh pegawai Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan Unit Pengelola Teknis di Lingkungan Kantor Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Upacara dipimpin oleh Sekretaris Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Nuniek Ria Sundari yang bertindak sebagai Inspektur Upacara. Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-79 tahun ini mengusung tema ”Nusantara Baru, Indonesia Maju” yang menggambarkan semangat baru dalam mensukseskan beberapa transisi besar di Indonesia pada tahun ini salah satunya perpindahan Ibukota Negara ke Nusantara.

Dalam sambutan Pj. Gubernur DKI Jakarta, Heru budi Hartono yang dibacakan oleh Inspektur Upacara, adanya Ibukota baru menjadi momentum bagi Kota Jakarta untuk berbenah dan mengoptimalkan potensinya sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global. Jakarta akan terus berkembang menjadi kota megapolitan yang progresif berfokus pada pengembangan infrastruktur yang lebih modern dan berkelanjutan perbaikan kualitas hidup warga serta peningkatan daya saing di skala global. Harapannya seluruh jajaran pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memaknai perayaan HUT kemerdekaan Republik Indonesia dengan memperkuat komitmen untuk terus berinovasi dan beradaptasi dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi Kota Jakarta.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya mengoptimalkan kinerjanya di berbagai aspek. Salah satu pencapaiannya, Kota Jakarta kembali berhasil mempertahankan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk ke-7 kalinya.

“Kesuksesan ini merupakan hasil kerja keras konsistensi keseriusan dan Sinergi lintas jajaran pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang didukung oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta terutama dalam melakukan peningkatan dan mempertahankan akuntabilitas pengelolaan keuangan.” ucap Pj. Gubernur Heru dalam sambutannya.

Dalam sambutannya Pj. Gubernur Heru juga mengingatkan kepada Aparatur Sipil Negara di Jakarta agar menjaga sikap netralitas dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah pada November 2024 nanti.

“Sikap netralitas merupakan cerminan profesionalisme ASN sekaligus upaya menjaga kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah”. ucap Pj. Gubernur Heru dalam sambutannya.

“Dirgahayu ke-79 Negara Kesatuan Republik Indonesia Tercinta Merdeka, Merdeka, Merdeka!” tutup sambutan Pj Gubernur Heru yang dibacakan oleh Inspektur Upacara.

Dalam upacara ini pula seluruh peserta upacara mengenakan pakaian bertemakan pahlawan nasional. Pakaian bertemakan pahlawan nasional ini juga merupakan bagian dari perlombaan yang diadakan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dalam menyemarakkan HUT RI ke-79.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-79, Nusantara Baru, Indonesia Maju, Sukses Jakarta Untuk Indonesia. MERDEKA ! [AA]

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang (kōki) (17 Agustus Shōwa 20 dalam penanggalan Jepang itu sendiri), yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.

Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922–1947 (1948).

Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini bunyi pemberitaan tersebut:

“Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik”

Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.

Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.[1]

Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[2] Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya.[3] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.[4] Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[5]

Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai “Soekarno” menggunakan ortografi Belanda) dan Mohammad Hatta,[6] yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.[7][8]

Hari Kemerdekaan dijadikan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada 18 Juni 1946.[9] ( DARI WIKIPEDIA )

Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (disingkat Komisi DPR RI) adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap. Jumlah Komisi DPR RI ditetapkan oleh DPR pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR, permulaan tahun sidang, dan pada setiap masa sidang.[1]

Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang.[1]

Tugas Komisi di bidang anggaran antara lain:

Tugas komisi di bidang pengawasan antara lain:

Komisi dalam melaksanakan, dapat mengadakan:

Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi. Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah. Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya. Komisi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.

Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam komisi. Setiap anggota DPR (kecuali pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh komisi.

Pada periode 2019–2024, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas dan mitra kerja masing-masing sebagai berikut:[2]

Pada periode 2024–2029 dilakukan penambahan komisi dari periode sebelumnya yang hanya 11 komisi menjadi 13 komisi karena perubahan terkait nomenklatur dan penambahan jumlah kementerian sebagai mitra kerja komisi DPR.[3]

Komisi I DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tentang Penetapan Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2024-2029, Pasangan Kerja Komisi I DPR RI sebagai berikut:

Komisi II DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tentang Penetapan Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2024-2029, Pasangan Kerja Komisi II DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi III DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tentang Penetapan Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2024-2029, Pasangan Kerja Komisi III DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi IV DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tentang Penetapan Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2024-2029, Pasangan Kerja Komisi IV DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi V DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tentang Penetapan Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2024-2029, Pasangan Kerja Komisi V DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi VI DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Komisi VI DPR RI berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna DPR RI tanggal 22 Oktober 2024 untuk Periode Keanggotaan Tahun 2024-2029 memiliki Mitra Kerja sebagai berikut:

Komisi VII DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Pasangan Kerja Komisi VII DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi VIII DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Komisi VIII DPR RI berdasarkan Keputusan DPR RI tentang Penetapan Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2024-2029 tanggal 22 Oktober 2024, memiliki Mitra Kerja sebagai berikut:

Komisi IX DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Mitra Kerja Komisi IX DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi X DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Rapat Paripurna DPR RI Tanggal 22 Oktober 2024 menetapkan Ruang Lingkup Tugas dan Mitra Kerja Komisi X DPR RI. Pasangan Kerja Komisi X DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi XI DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Pasangan Kerja Komisi XI DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi XII DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Pasangan Kerja Komisi XII DPR RI adalah sebagai berikut:

Komisi XIII DPR RI mempunyai ruang lingkup tugas di bidang:

Pasangan Kerja Komisi XIII DPR RI adalah sebagai berikut:

Kehidupan setelah kematian (terkadang disebut juga akhirat atau alam baka) adalah konsep tentang suatu alam, atau alam itu sendiri (baik bersifat fisik maupun transendental), yang di dalamnya suatu bagian esensial dari kesadaran atau identitas seorang individu berlanjut keberadaannya setelah kematian tubuhnya. Menurut berbagai gagasan tentang kehidupan setelah kematian, aspek penting dari seorang individu yang hidup setelah kematian jasmani kemungkinan adalah beberapa elemen parsial, ataupun keseluruhan jiwa atau roh, dari individu tersebut, yang dibawanya dan memberikan identitas diri. Keyakinan pada kehidupan setelah kematian, yang mungkin bersifat naturalis atau supranatural, kontras dengan keyakinan pada ketiadaan atau keterlupaan kekal.

Dalam beberapa pandangan populer, keberadaan yang berlanjut ini sering kali terjadi dalam alam rohani, dan dalam pandangan populer lainnya, seorang individu kemungkinan dilahirkan kembali ke dalam dunia ini serta memulai kembali siklus hidup yang lain, mungkin tanpa ingatan akan apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Menurut pandangan yang terakhir disebutkan itu, kematian dan kelahiran kembali tersebut dapat terjadi berulang-ulang secara terus menerus sampai sang individu diperkenankan masuk ke suatu Dunia lain atau alam rohani. Pandangan-pandangan utama mengenai kehidupan setelah kematian berasal dari agama, esoterisme, dan metafisika.

Sejumlah sistem kepercayaan, seperti yang terdapat dalam tradisi Abrahamik, berpegang pada pandangan bahwa orang yang telah meninggal dunia pergi menuju suatu alam keberadaan tertentu setelah kematian jasmaninya, sebagaimana ditentukan oleh Tuhan, suatu dewa/dewi, atau penghakiman ilahi lainnya, berdasarkan keyakinan atau tindakan mereka selama hidupnya di dunia ini. Sebaliknya, dalam sistem reinkarnasi, seperti yang terdapat dalam agama-agama India, hakikat dari keberadaan lanjutan tersebut ditentukan langsung oleh tindakan-tindakan sang individu dalam kehidupannya yang terakhir, bukan ditentukan oleh keputusan dari kodrat atau makhluk lainnya.

Dalam model-model metafisik, penganut teisme umumnya meyakini beberapa jenis kehidupan setelah kematian yang menanti orang-orang setelah mereka meninggal dunia. Penganut beberapa agama yang umumnya non-teistik, cenderung meyakini adanya suatu kehidupan setelah kematian, tetapi tanpa merujuk pada suatu dewa/dewi atau Tuhan. Kaum Saduki merupakan salah satu sekte Yahudi kuno yang pada dasarnya percaya bahwa Allah itu ada, tetapi mereka tidak percaya akan adanya kehidupan setelah kematian.

Banyak agama, entah meyakini keberadaan jiwa dalam dunia lain seperti Kekristenan, Islam, dan banyak sistem keyakinan pagan, atau reinkarnasi seperti banyak rupa agama Hindu dan Buddha, percaya bahwa status seseorang dalam kehidupan setelah kematian merupakan suatu ganjaran (balas jasa ataupun hukuman) atas perilaku mereka selama hidupnya di dunia ini.

Reinkarnasi mengacu pada suatu konsep kehidupan setelah kematian yang dianut oleh kaum Hindu, Buddhis, Jain, Sikh, Rosikrusian, Teosofis, Spiritis, dan Wiccan. Reinkarnasi juga merupakan suatu keyakinan yang dideskripsikan dalam Yudaisme Kabbalistik sebagai gilgul neshamot (Reinkarnasi Jiwa-Jiwa).[1] Dalam reinkarnasi, perkembangan rohani berlanjut setelah kematian saat orang yang telah wafat memulai kehidupan duniawi lainnya dalam dunia fisik, memperoleh suatu tingkatan superior kesadaran dan altruisme dengan cara reinkarnasi beruntun. Suksesi tersebut mengarah pada suatu pembebasan final.

Salah satu konsekuensi keyakinan-keyakinan reinkarnasi adalah bahwa kehidupan orang saat ini merupakan suatu kehidupan setelah kematian sekaligus kehidupan sebelum kematian. Menurut keyakinan-keyakinan ini, peristiwa-peristiwa dalam kehidupan orang pada saat ini merupakan akibat dari tindakan-tindakan yang diambil dalam kehidupan sebelumnya, atau Karma.

Kaum Rosikrusian,[2] sebagaimana mereka yang pernah memiliki pengalaman di ambang kematian, berbicara tentang suatu periode tinjauan hidup yang terjadi seketika setelah kematian dan sebelum memasuki alam keberadaan (sebelum rantai perak diputuskan)—yang diikuti oleh suatu penghakiman—dalam kehidupan setelah kematian, yang lebih seperti sebuah Tinjauan Final atau Laporan Akhir atas kehidupan seseorang.[3]

Agama-agama Abrahamik pada umumnya berpandangan bahwa setelah kehidupannya di dunia ini berakhir orang akan pergi menuju neraka ataupun surga tergantung pada perbuatan atau iman seseorang di Bumi, atau predestinasi dan pemilihan tanpa syarat, atau juga menuju suatu keadaan peralihan untuk menantikan Kebangkitan orang mati.[butuh rujukan] Dalam kebanyakan denominasi,[butuh rujukan] surga merupakan suatu kondisi balas jasa atau penghargaan bagi orang-orang yang dibenarkan setelah mereka meningggal dunia, yang menurut tradisi didefinisikan sebagai persatuan abadi dengan Allah.

Berbeda dengan surga, neraka merupakan suatu kondisi hukuman dan siksaan bagi orang-orang jahat, yang menurut tradisi didefinisikan sebagai keterpisahan abadi dari Allah serta keterpenjaraan dengan para malaikat yang jatuh dan jiwa lainnya yang tidak dibenarkan.

Terlepas dari pandangan populer, Limbo, yang dielaborasi oleh para teolog pada Abad Pertengahan, tidak pernah diakui sebagai suatu dogma Gereja Katolik Roma, namun kadang-kadang menjadi suatu konsep teologis yang sangat populer di dalam Gereja. Limbo adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa jiwa-jiwa yang dipandang tidak bersalah dan tidak dibaptis, misalnya para bayi, para individu luhur yang hidup sebelum Yesus Kristus lahir di bumi, atau mereka yang meninggal dunia sebelum baptisan, tidak secara tepat berada dalam Surga atau Neraka. Oleh karena itu, jiwa-jiwa tersebut tidak mengalami visiun beatifis, namun juga tidak dikenakan hukuman, karena mereka tidak dipersalahkan atas dosa pribadi apapun kendati mereka belum menerima baptisan, sehingga masih menanggung beban dosa asal. Maka mereka umumnya dipandang berada dalam suatu kondisi kebahagiaan alami/natural, bukan supranatural, hingga akhir zaman.

Dalam beberapa denominasi Kristen lainnya, Limbo dideskripsikan sebagai suatu tempat peralihan atau keadaan penahanan dalam keterlupaan dan terabaikan.[4]

Gagasan tentang purgatorium terutama dikaitkan dengan Gereja Katolik. Dalam Gereja Katolik, semua orang yang meninggal dunia dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, namun masih belum dimurnikan secara sempurna, memang terjamin keselamatan kekal mereka; tetapi wafatnya mereka menjalani pemurnian, untuk mencapai kekudusan yang diperlukan untuk memasuki kebahagiaan surga ataupun pemurnian akhir orang-orang yang dipilih, yang sama sekali berbeda dengan hukuman bagi orang-orang yang terkutuk. Tradisi Gereja, dengan merujuk pada teks-teks tertentu dalam kitab suci, berbicara tentang suatu "api penyucian" meski tidak selalu disebut 'purgatorium' (kata Latin yang secara harfiah berarti pembersihan, pemurnian, penyucian).

Kalangan Anglikan dengan tradisi Anglo-Katolik umumnya juga memegang keyakinan ini. John Wesley, pendiri Metodisme, percaya pada adanya suatu keadaan peralihan antara kematian jasmani dan kebangkitan orang mati serta pada kemungkinan "terus bertumbuh dalam kekudusan di sana", namun Metodisme tidak secara resmi menegaskan keyakinan ini dan sejumlah kalangan Metodis menolak kemungkinan diperlukannya bantuan melalui doa bagi mereka yang mungkin berada dalam keadaan tersebut.[5]

Tulisan yang kemudian digabungkan ke dalam Alkitab Ibrani menyebut Sheol ("dunia orang mati") sebagai kediaman orang yang telah meninggal dunia.[6] Secara tradisi, interpretasi ulang penulis Kristen adalah bahwa kata Ibrani Sheol dapat berarti banyak hal, termasuk "kubur", "tmpat yang dimaksudkan untuk hal tertentu", "tempat penantian", dan "tempat penyembuhan". Kata tersebut juga dapat berarti "jauh di dalam",[butuh rujukan] sebagaimana digunakan ketika bumi terbuka dan membinasakan Korah, Datan, dan Abiram yang memberontak beserta 250 pengikut mereka (Bilangan 16:31-33). Orang mungkin memandang hal ini secara harfiah sebagai implikasi bahwa Sheol merupakan dunia bawah tanah, meski dengan mudah dapat dibaca secara harfiah untuk menandakan suatu gempa bumi atau terbelahnya bumi.

1 Samuel 29:3-19: "Adapun Samuel sudah mati. ... Lalu berkatalah Saul kepada para pegawainya: 'Carilah bagiku seorang perempuan yang sanggup memanggil arwah; ... Jawabnya: 'Panggillah Samuel supaya muncul kepadaku.' ... Perempuan itu menjawab Saul: 'Aku melihat sesuatu yang ilahi muncul dari dalam bumi.' Maka tahulah Saul, bahwa itulah Samuel. ... Sesudah itu berbicaralah Samuel kepada Saul: 'Mengapa engkau mengganggu aku dengan memanggil aku muncul?' Kata Saul: 'Aku sangat dalam keadaan terjepit ...' Lalu berbicaralah Samuel: 'Mengapa engkau bertanya kepadaku, padahal TUHAN telah undur dari padamu dan telah menjadi musuhmu? ... dan besok engkau serta anak-anakmu sudah ada bersama-sama dengan daku. ..."

Pengkhotbah 3:19-21: "Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia. Kedua-duanya menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu. Siapakah yang mengetahui, apakah nafas manusia naik ke atas dan nafas binatang turun ke bawah bumi."

Pengkhotbah 9:3-6: "Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati. Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati. Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap. Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari."

Demikian pula Mazmur 146:3-4 menyatakan: "Janganlah percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan. Apabila nyawanya melayang, ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya."

Dalam Ayub 14:10,12,14a disebutkan: "Tetapi bila manusia mati, maka tidak berdayalah ia, bila orang binasa, di manakah ia? ... demikian juga manusia berbaring dan tidak bangkit lagi, sampai langit hilang lenyap, mereka tidak terjaga, dan tidak bangun dari tidurnya. ... Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?"

Talmud menyajikan sejumlah pemikiran yang berhubungan dengan kehidupan setelah kematian. Para otoritas Talmudik bersepakat bahwa setiap orang bukan Yahudi yang luhur dan saleh akan mendapat bagian dalam dunia yang akan datang. Setelah kematian jasmani, jiwa menghadapi penghakiman. Mereka yang telah menjalani kehidupan murni segera masuk ke dalam "Olam Haba" atau Dunia Akan Datang. Kebanyakan jiwa tidak segera memasuki Dunia Akan Datang, tetapi mengalami suatu periode peninjauan atas tindakan-tindakan duniawi mereka dan mereka disadarkan akan apa yang telah mereka lakukan dengan salah. Beberapa kalangan memandang periode ini sebagai suatu "persekolahan kembali", dengan diperolehnya kebijaksanaan oleh jiwa saat kesalahan-kesalahannya ditinjau. Kalangan lainnya memandang periode ini mencakup ketidaknyamanan secara rohani atas kesalahan-kesalahan di masa lalu. Pada akhir periode ini, tidak lebih dari 1 tahun, jiwa kemudian mendiami Dunia Akan Datang. Walaupun ketidaknyamanan-ketidaknyamanan tercakup dalam konsepsi-konsepsi Yahudi tertentu mengenai kehidupan setelah kematian, konsep "hukuman kekal", yang umum dalam agama-agama lainnya, bukan merupakan prinsip keyakinan dalam kehidupan setelah kematian Yahudi. Menurut Talmud, kemusnahan jiwa dikhususkan bagi suatu kelompok yang jauh lebih kecil yang terdiri dari para pemimpin jahat dan durjana, baik yang perbuatan-perbuatannya sangat jahat dan jauh di luar norma, ataupun mereka yang memimpin kelompok besar massa penjahat ekstrem.[7][8]

Maimonides mendeskripsikan Olam Haba ("Dunia yang Akan Datang") dalam hal-hal rohani, menurunkan status kebangkitan fisik yang dinubuatkan menjadi suatu keajaiban masa mendatang, tidak berkaitan dengan kehidupan setelah kematian atau era Mesianik. Menurut Maimonides, suatu kehidupan setelah kematian terus berlanjut bagi jiwa setiap manusia, saat jiwa terpisah dari tubuhnya yang di dalamnya jiwa "ditempatkan" selama keberadaan duniawinya.

Zohar mendeskripsikan Gehenna bukan sebagai suatu tempat hukuman bagi orang fasik, tetapi sebagai suatu tempat penyucian rohani bagi jiwa-jiwa.[9]

Meskipun tidak terdapat rujukan mengenai reinkarnasi di dalam Talmud atau tulisan-tulisan sebelumnya,[10] menurut para rabi seperti Avraham Arieh Trugman, reinkarnasi dikenal sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam tradisi Yahudi. Trugman menjelaskan bahwa, melalui tradisi lisan, makna dari Taurat, semua kisah dan perintah yang terdapat dikandungnya, dikenal dan dipahami. Karya klasik mistisisme Yahudi,[11] Zohar, dikutip secara bebas dalam semua pembelajaran Yahudi; gagasan tentang reinkarnasi disebutkan berulang kali dalam Zohar. Trugman menyatakan bahwa, selama lima abad terakhir, konsep reinkarnasi, yang hingga saat itu merupakan suatu tradisi tersembunyi di dalam Yudaisme, dipaparkan secara terbuka.[11]

Shraga Simmons berkomentar bahwa dalam Alkitab sendiri, gagasan tentang reinkarnasi tersirat dalam Ul. 25:5-10, Ul. 33:6, dan Yes. 22:14, 65:6.[12]

Yirmiyahu Ullman menuliskan bahwa reinkarnasi merupakan suatu "keyakinan kuno, [termasuk] arus utama dalam Yudaisme". Zohar secara panjang lebar dan sering menyebutkan reinkarnasi. Onkelos, seorang komentator otoritatif dan konver yang dibenarkan dari periode yang sama, menjelaskan kalau ayat "Biarlah Ruben hidup dan jangan mati ..." (Ulangan 33:6) berarti bahwa Ruben seharusnya secara langsung layak untuk Dunia Akan Datang, dan tidak perlu wafat lagi sebagai akibat dari reinkarnasi. Seorang Kabbalis, komentator, dan akademisi Taurat yang bernama Nahmanides (Ramban, 1195–1270) menghubungkan penderitaan Ayub dengan reinkarnasi, sebagaimana diisyaratkan dalam Ayub 33:29-30: "Sesungguhnya, semuanya ini dilakukan Allah dua, tiga kali terhadap manusia: mengembalikan nyawanya dari liang kubur, sehingga ia diterangi oleh cahaya hidup."[13]

Reinkarnasi, disebut gilgul, menjadi populer dalam kepercayaan rakyat, dan ditemukan dalam banyak literatur Yiddi di kalangan Yahudi Ashkenazi. Di antara beberapa kaum kabbalis, dikemukakan bahwa sejumlah jiwa manusia dapat berakhir dalam kondisi reinkarnasi ke tubuh non-manusia. Gagasan-gagasan tersebut ditemukan di sejumlah karya Kabbalistik dari abad ke-13, dan juga di antara banyak mistikus pada akhir abad ke-16. Koleksi awal kisah kehidupan Baal Shem Tov yang disusun oleh Martin Buber memuat beberapa rujukan tentang orang-orang yang menjelma kembali (reinkarnasi) dalam sejumlah kehidupan secara berturutan.[14]

Di antara para rabi terkenal (umumnya non-kabbalis atau anti-kabbalis) yang menolak gagasan tentang reinkarnasi misalnya Saadia Gaon, David Kimhi, Hasdai Crescas, Yedayah Bedershi (awal abad ke-14), Joseph Albo, Abraham ibn Daud, Asher ben Jehiel, dan Leone dari Modena. Saadia Gaon, dalam Emunot ve-Deot (bahasa Ibrani: "keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapat"), mengakhiri Bagian VI dengan sanggahan terhadap doktrin metempsikosis (reinkarnasi). Saat menyangkal konsep reinkarnasi, Saadia Gaon lebih lanjut menyatakan bahwa kaum Yahudi yang memegang keyakinan akan reinkarnasi telah mengadopsi keyakinan-keyakinan non-Yahudi. Kendati tidak semua kaum Yahudi saat ini percaya pada reinkarnasi, namun keyakinan akan reinkarnasi bukannya tidak lazim di antara banyak kaum Yahudi, termasuk Yahudi Ortodoks.[butuh rujukan]

Rabi terkenal lainnya yang merupakan reinkarnasionis misalnya Yonassan Gershom, Abraham Isaac Kook, akademisi Talmud Adin Steinsaltz, DovBer Pinson, David M. Wexelman, dan Zalman Schachter.[15] Reinkarnasi dikutip oleh para komentator otoritatif biblika seperti Ramban (Nahmanides), Menachem Recanti, dan Rabbenu Bachya.[butuh rujukan]

Di antara banyak volume Isaac Luria, yang kebanyakan diturunkan dari pena murid utamanya, Hayyim ben Joseph Vital, terdapat tinjauan yang menjelaskan isu-isu terkait reinkarnasi. Karyanya yang berjudul Shaar HaGilgulim, "Pintu-Pintu Gerbang Reinkarnasi", merupakan sebuah buku yang ditujukan secara khusus untuk subjek reinkarnasi dalam agama Yahudi.

Rabi Naftali Silberberg dari Institut Pembelajaran Yahudi Rohr mencatat bahwa, "Banyak gagasan yang berasal dari sistem-sistem keyakinan dan agama lain yang telah dipopulerkan dalam media dan diambil begitu saja oleh orang-orang Yahudi yang bersahaja."[16] Dengan begitu manusia akan masuk ke dalam kuburan & terpisah alan, ini artinya orang-orang akan mati sahid.

Kekristenan arus utama mengakukan keyakinan dalam Pengakuan Iman Nicea, dan mengandung frasa: "Aku menantikan kebangkitan orang mati dan kehidupan pada zaman yang akan datang (versi Katolik: hidup di akhirat)." Eskatologi Kristen berhubungan dengan kematian, suatu keadaan antara, Surga, Neraka, Kedatangan Kedua Yesus Kristus, kebangkitan orang mati, suatu pengangkatan, suatu kesusahan, Milenium, akhir dunia, penghakiman terakhir, suatu langit yang baru dan suatu bumi yang baru, serta penggenapan akhir dari semua rencana Allah. Ayat-ayat eskatologis ditemukan dalam banyak bagian Alkitab, terutama Kitab Yesaya, Daniel, Matius 24, Matius 25, dan Wahyu. Meskipun hukuman-hukuman menjadi bagian dari sejumlah konsepsi Kristen mengenai kehidupan setelah kematian, konsep umum "hukuman kekal" merupakan keyakinan prinsip Kristen dalam kehidupan setelah kematian.

Ketika ditanya oleh kaum Saduki tentang kebangkitan orang mati (dalam konteks terkait siapa yang menjadi suami dari seorang perempuan yang telah menikah beberapa kali dalam hidupnya), Yesus menjelaskan mengenai tidak relevannya pernikahan setelah kebangkitan karena orang yang dibangkitkan akan (setidaknya dalam hal ini) hidup seperti para malaikat dalam surga.[17]

Yesus juga menyatakan bahwa waktunya akan tiba ketika orang yang telah meninggal dunia akan mendengar suara Putra Allah, dan semua orang dalam kubur akan keluar, mereka yang telah melakukan perbuatan-perbuatan baik dibangkitkan kembali dalam kehidupan, tetapi mereka yang telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dibangkitkan kembali untuk dihukum.[18] Menurut Injil Matius, saat Yesus wafat kuburan-kuburan terbuka, dan saat Yesus bangkit kembali banyak orang kudus yang telah wafat muncul dari kuburan mereka dan pergi ke "kota kudus" (mungkin Yerusalem Baru).[19] Tidak ada laporan Perjanjian Baru lainnya yang mengisahkan peristiwa tersebut.

Hari Terakhir: Yesus membandingkan kerajaan surga, di mana Ia memerintah, dengan jala yang dilemparkan ke laut dan menghimpun segala jenis ikan. Setelah penuh, jala itu ditarik orang ke pantai, lalu ikan yang baik disortir dan ditaruh dalam tempayan, namun ikan yang buruk dibuang. Tertulis bahwa hal serupa akan terjadi pada akhir zaman, yang dikenal sebagai Hari Terakhir. Para malaikat akan memisahkan orang jahat dari orang yang dibenarkan dan menempatkan mereka di dalam "dapur api". Kemudian orang-orang yang dibenarkan akan bercahaya seperti matahari di dalam kerajaan Bapa mereka.

Kitab Henokh mendeskripsikan bahwa Sheol terbagi menjadi empat kompartemen untuk 4 jenis arwah: orang kudus yang taat yang menanti kebangkitan di dalam Firdaus, orang yang sekadar saleh yang menanti pahala mereka, orang fasik yang menunggu hukuman, serta orang fasik yang telah dihukum dan tidak akan dibangkitkan pada Hari Penghakiman.[20] Perlu dicatat bahwa Kitab Henokh dipandang apokrif oleh kebanyakan denominasi Kristen dan semua denominasi Yudaisme.

Kitab 2 Makabe menyajikan suatu laporan yang jelas mengenai arwah yang menantikan penghakiman dan kebangkitan di masa mendatang, beserta persembahan dan doa bagi arwah untuk menghapus beban yang diakibatkan oleh dosa.

Penulis Injil Lukas menceritakan kisah Lazarus dan orang kaya, yang memperlihatkan orang-orang dalam Hades yang sedang menantikan kebangkitan baik dalam keadaan yang nyaman ataupun tersiksa. Penulis Kitab Wahyu menggambarkan tentang Allah dan para malaikat melawan Setan dan roh-roh jahat dalam suatu pertempuran epik pada akhir zaman saat semua jiwa dihakimi. Ada disebutkan tubuh-tubuh para nabi terdahulu yang seperti hantu, dan Transfigurasi.

Kisah Paulus dan Tekla, yang dipandang non-kanonik, berbicara tentang keampuhan doa bagi orang yang telah meninggal dunia, sehingga mereka dapat "dipindahkan ke suatu keadaan kebahagiaan".[21]

Hippolitus dari Roma menggambarkan "dunia bawah" (Hades) sebagai suatu tempat kediaman arwah yang dibenarkan, menantikan kebangkitan mereka dalam pangkuan Abraham, bergembira karena prospek masa depan mereka, sementara orang-orang yang tidak dibenarkan tersiksa memandang "lautan api yang tak terpadamkan" yang ke dalamnya mereka akan dicampakkan.

Gregorius dari Nyssa membahas kemungkinan yang telah lama dipercaya akan adanya pemurnian jiwa setelah kematian jasmani.[22]

Gregorius Agung mengulangi konsep tersebut, yang diartikulasi lebih dari satu abad sebelumnya oleh Gregorius dari Nyssa, bahwa orang yang diselamatkan mengalami pemurnian setelah ia meninggal dunia, sehubungan dengan yang ia tuliskan tentang "api-api purgatorial".

Kata benda "purgatorium" (kata Latin yang berarti tempat pembersihan[23]) digunakan pertama kali untuk mendeskripsikan suatu keadaan pemurnian yang menyakitkan atas orang-orang yang diselamatkan setelah kehidupan di dunia ini. Kata yang sama dalam bentuk kata sifat (purgatorius -a -um, pembersihan), yang terlihat juga dalam tulisan non-religius,[24] telah digunakan oleh kalangan Kristen seperti Agustinus dari Hippo dan Paus Gregorius I (Gregorius Agung) untuk mengacu pada suatu pembersihan setelah kematian jasmani.

Selama Abad Pencerahan, para teolog dan filsuf menyajikan beragam filosofi dan keyakinan. Salah satu contoh penting yaitu Emanuel Swedenborg yang menulis sekitar 18 karya teologis yang mendeskripsikan secara rinci hakikat kehidupan setelah kematian menurut apa yang ia klaim sebagai pengalaman-pengalaman rohani, di antara karyanya yang terpenting misalnya Surga dan Neraka.[25] Laporannya tentang kehidupan itu mencakup berbagai topik, seperti pernikahan di dalam surga (di mana semua malaikat 'menikah'), anak-anak di dalam surga (di mana mereka 'dibesarkan' oleh orang tua yang adalah malaikat), ruang dan waktu di dalam surga (sama sekali tidak ada), proses kebangunan setelah kematian dalam Dunia Roh (suatu tempat di pertengahan jalan antara Surga dan Neraka serta tempat orang pertama kali bangun setelah kematian), diizinkannya orang memilih seturut kehendak bebasnya antara Surga atau Neraka (bukan dikirimkan ke salah satunya oleh Allah), keabadian Neraka (orang dapat meninggalkannya tetapi tidak akan pernah mau meninggalkannya), dan bahwa para malaikat ataupun roh jahat sebelumnya adalah orang-orang di bumi.[25]

Di sisi lain, Abad Pencerahan menghasilkan filosofi-filosofi yang lebih rasionalis seperti deisme. Banyak pemikir bebas deis berpandangan bahwa keyakinan akan adanya suatu kehidupan setelah kematian beserta dengan penghargaan dan hukuman merupakan suatu kebutuhan dari akal dan moral yang baik.

Wikimedia Commons memiliki media mengenai

Wikiversity memiliki bahan belajar tentang

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang (kōki) (17 Agustus Shōwa 20 dalam penanggalan Jepang itu sendiri) pukul 10:00 waktu Jepang, yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.

Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922–1947 (1948).

Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini bunyi pemberitaan tersebut:

"Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik"

Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.

Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.[1]

Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[2] Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya.[3] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.[4] Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[5]

Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai "Soekarno" menggunakan ejaan Van Ophuijsen) dan Mohammad Hatta,[6] yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.[7][8]

Hari Kemerdekaan dijadikan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada 18 Juni 1946.

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (disingkat BPUPK; Jepang: 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsa-kai), berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat PPKI; Jepang: 独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Iin-kai), untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno dan Hatta selaku pimpinan PPKI serta Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi, pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara dan putra mantan Perdana Menteri Terauchi Masatake. Mereka bertiga dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.[11] Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.[12]

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta, dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI. Meskipun demikian, Terauchi menginginkan proklamasi diadakan pada 24 Agustus 1945.[14] Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.[16] Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak PPKI. Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

Pada tanggal 2 September 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri.[18] Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Namun, kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Achmad Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat dan menjawab bahwa ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari tempat Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI pada pukul 10.00 pagi tanggal 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No. 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10.00 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.

Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana yang terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) serta Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[19]

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.[20] Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengingat bahwa Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10.00 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda Tadashi untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.[21][22]

Klip suara naskah yang dibacakan oleh Soekarno di studio RRI

Tempat pembacaan teks naskah Proklamasi Otentik oleh Soekarno untuk pertama kali adalah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (hari yang diperingati sebagai "Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia"), pukul 11.30 waktu Nippon (sebutan untuk negara Jepang pada saat itu). Waktu Nippon adalah merupakan patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang kala itu. Namun perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun video, yang ada hanyalah dokumentasi foto.

Suara asli dari Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang sering kita dengar saat ini adalah bukan suara yang direkam pada tanggal pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi adalah suara asli Soekarno yang direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI), yang sekarang bertempat di Jalan Medan Merdeka Barat 4–5, Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah Proklamasi oleh Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro.[41]

Teks pidato proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia

Berikut ini adalah teks pidato Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Saudara-saudara sekalian,

Peringatan detik-detik proklamasi

Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Upacara dimulai sekitar pukul 10.00 WIB untuk memperingati awal upacara Proklamasi tahun 1945. Seremoni peringatan biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional Indonesia. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Indonesia), pembacaan naskah Proklamasi, dan lain sebagainya. Pada sore hari sekira pukul 17.00 terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.

Naskah Proklamasi Klad

Proklamasi Klad adalah naskah asli proklamasi yang merupakan tulisan tangan sendiri oleh Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Hatta dan Achmad Soebardjo. Adapun perumus proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia terdiri dari Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima, S. Miyoshi, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo.[38]

Para pemuda yang berada di luar meminta supaya teks proklamasi bunyinya keras. Namun Jepang tak mengizinkan. Beberapa kata yang dituntut adalah "penyerahan", "dikasihkan", diserahkan", atau "merebut". Akhirnya yang dipilih adalah "pemindahan kekuasaan".[38] Setelah dirumuskan dan dibacakan di rumah orang Jepang, isi proklamasi pun disiarkan di radio Jepang.

Berikut isi proklamasi tersebut:

Naskah Proklamasi Klad ini ditinggal begitu saja dan bahkan sempat masuk ke tempat sampah di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. B.M. Diah menyelamatkan naskah bersejarah ini dari tempat sampah dan menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari, hingga diserahkan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha pada 29 Mei 1992.[39][40]

Peringatan Hari Kemerdekaan

Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Upacara militer dilaksanakan di Istana Merdeka. Sementara itu, beragam perlombaan dihadirkan seperti lomba panjat pinang dan makan kerupuk. Seluruh masyarakat ikut berpartisipasi dengan caranya masing-masing.